Selasa, 26 April 2011

Mengapa Manusia Tidak Mengikuti Suara Hatinya Sekalipun Tahu akan Kebenaran??



Setiap insan selain dibekali oleh akal dan hawa nafsu juga memiliki nurani atau suara hati. Dengan akalnya seorang anak manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah, berpikir tentang alam semesta dan dirinya sendiri, serta sebagai alat untuk mengetahui asal usulnya dan siapa Penciptanya. Sementara hawa nafsu berfungsi untuk mempertahankan eksistensinya dan kelangsungan hidupnya – ambisi, ego, amarah, harga diri, lapar, haus, birahi dan sebagainya. Sedangkan nurani berfungsi sebagai penasihat yang jujur bagi dirinya. Apa yang dikatakan selalu benar. Suara hati ini senantiasa mengingatkan sang insan meskipun hawa nafsunya telah menutupi akalnya. Kezaliman paling besar yang dilakukan oleh manusia adalah ketika hawa nafsunya mengingkari akalnya dan menindas suara hatinya sendiri.
 *****
                Didalam diri orang yang tidak mengikuti nuraninya, terdapat kelemahan iman terhadap Allah dan akhirat. Kelemahan ini mengarah kepada berbagai kerusakan moral yang membuat orang ini menjadi semakin cenderung untuk mengabaikan nuraninya. Nurani orang-orang yang tidak mau menerima agama juga tahu tentang kebajikan dan eksistensi Allah, namun oleh karena berbagai alasan mereka tidak mau mengikuti perkara-perkara yang mereka akui kebenarannya ini. Di dalam al-Qur’an, Allah menyatakan didalam banyak ayat bahwa manusia sengaja ingkar skalipun mereka telah memahami dan nurani merekapun sudah merasa yakin.


                Misalnya pada ayat berikut ini disebutkan mengenai orang-orang yahudi yang telah mengubah-ubah taurat, yang mana merupakan wahyu dari Allah :

                “....Segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memhaminya, sedang mereka mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah : 75) 

                Diantara berbagai alasan untuk menolak kebenaran ini adalah rasa takabur dan kesombongan, yang mana merupakan bentuk-bentuk dari ananiyyah (keakuan/ego). Istilah ananiyyah diambil dari kata ana yang berarti “aku”. Yaitu di mana seseorang memandang dirinya dan semua hal yang ada disekitarnya tidak tergantung kepada Allah, dan semua sikap dan kelakuannya dari sudut pandang ini adalah keakuan. Tatkala seseorang memandang dirinya tidak tergantung kepada Allah, maka dia akan berfikir bahwa semua kualitas yang ada pada dirinya adalah miliknya sendiri. Akan tetapi, dirinya seutuhnya dan semua hal yang ada padanya adalah kepunyaan Allah. Allah dapat mencabut semua itu kapan saja dikehendaki-Nya. 

Salah satu faktor terpenting sehingga manusia tidak mnggunakan nuraninya adalah karena mereka menganggap diri mereka sudah merasa cukup dalam segala hal. Misalnya, tatkala ditanyakan tentang keterikatan dan ketaatan mereka terhadap islam, kebanyakan manusia akan berkata sudah cukup bila tidak merugikan orang lain dan berusaha untuk menjadi orang yang baik. Akan tetapi ini benar-benar suatu tipuan. Yang terpenting adalah bagaimana caranya untuk menjadi hamba Allah dan hidup sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Jika manusia tidak melakukan hal ini, hal-hal lain yang dilakukannya akan menjadi tidak berarti dan sia-sia. Allah berfirman didalam al-Qur’an :   
 
“maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Q.s. Fathir : 8).

Meskipun manusia memandang diri mereka sudah merasa cukup, sesungguhnya di dalam nuraninya mereka mengakui betapa tidak sempurnanya diri mereka, dan bahwa diri mereka gagal dalam mencapai ridha Allah. Inilah sebabnya mengapa mereka menghndari pembicaraan mengenai topik-topik seperti kematian, hari kiamat, dan akhirat. Tatkala ada orang yang mengangkat topik ini, mereka berusaha mengakhirinya karena hal itu “membuat depresi”. Alasan mengapa mereka menjadi depresi adalah karena mereka mengingkari nuraninya sendiri, dan bila tetap berkutat pada topik ini menimbulkan rasa gelisah di dalam batin mereka. 

Banyak orang yang berpikir bahwa mereka sudah cukup saleh selama ini karena mereka tidak berbuat jahat seperti membunuh, memperkosa, atau mencuri. Mereka tidak berpikir bahwa ada ratusan amal-amal saleh dan ibadah ritual yang mereka tunda-tunda atau abaikan sama sekali. Sekalipun diharamkan, mereka bergosip ria, mereka tidak menjalankan sholat lima waktu, mereka tidak berusaha meingkatkan akhlak perilakunya dan mereka pun tidak bersyukur kepada Tuhan mereka atas karunia dan nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada mereka. Mereka berlaku tidak adil sesuai dengan tujuan-tujuan mereka, dan berdusta untuk menutup-nutupi kesalahannya. Bahwasannya mereka merasa diri mereka sudah cukup dan tidak takut akan perhitungan di akherat kelak adalah suatu tanda akan kejahilan dan pendeknya pandangan mereka.

Para nabi dan orang –orang beriman yang disebutkan sebagai teladan di dalam al-Qur’an adalah contoh-contoh terbaik dari mereka yang memiliki tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Misalnya, Nabi Yusuf a.s., berdoa kepada Allah agar “mewafatkannya dalam keadaan islam dan memasukkannya kedalam golongan orang-orang yang saleh” (Q.s. Yusuf: 101). Meskipun dia adalah nabi pilihan Allah, berkenaan dengan akhirat dia menunjukkan rasa takut dan harap. Orang-orang jahil berbicara seakan-akan mereka sudah yakin bahwa mereka akan masuk kedalam surga Allah. Kalau mereka terus saja dalam kesombongannya yang buta itu,maka mereka ada dalam bahaya menghadapi bencana yang mengerikan. Wallahualam bishowab.


Sumber : Artikel Harun yahya (Suara Hati dan Al-Qur'an)
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo silakan isi komentar di bawah ini